Tambah Kuota BBM, Butuh Biaya Besar
Dengan berkelompok, para nelayan di perairan Sungsang sejak pagi mulai sibuk menyiapkan perlengkapan untuk menangkap ikan di laut lepas
Beban nelayan akan akan bertambah. Selain mahalnya biaya operasional untuk melaut, mereka pun dihadapkan pada rencana kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) yang dilakukan pemerintah. Berikut penelusuran Sumatera Ekspres di Kampung Nelayan Sungsang, Banyuasin.
Kecamatan Banyuasin II, Kabupaten Banyuasin dikenal sebagai wilayah kampung nelayan. Ini lantaran luasnya wilayah perairan di daerah itu. Kecamatan ini sendiri memiliki 17 desa dengan dengan jumlah penduduk 53 ribu jiwa. Potensi unggulan yang terdapat di kawasan itu ialah sektor perikanan.
Bahkan 85 persen penduduk di lima desa berprofesi sebagai nelayan. Tersebar di Desa Marga Sungsang, Desa Sungsang I, Desa Sungsang II, Desa Sungsang III, dan terakhir Desa Sungsang IV. Untuk itulah wilayah tersebut dijuluki sebagai kampung nelayan. Hanya saja, seiring waktu, banyak persoalan yang dihadapi para nelayan.
Di antaranya, biaya operasional mahal, perlengkapan melaut yang minim hingga terbatasnya kuota BBM. Belum lagi harga BBM yang akan mengalami kenaikan. Kondisi inilah yang membuat nelayan menjerit. “Kami minta ada kebijakan nyata untuk kaum nelayan di Banyuasin ini. Jangan sampai nelayan makin susah,” ujar Henri (38), warga Desa Marga Sungsang, yang sudah menjalani profesi sebagai nelayan selama 15 tahun tersebut.
Dikatakan, para nelayan di Kecamatan Banyuasin II akan merasakan dampak yang sangat besar dari kenaikan BBM. Karena biaya opersional melaut akan membengkak dari biaya yang sebelumnya. “Dampaknya sangat besar mas, mulai dari biaya operasional yang tinggi hingga keperluan lain. Jika biaya operasional yang dikeluarkan mencapai Rp 4-6 juta untuk enam hari enam malam, maka bisa bertambah menjadi Rp 8-10 juta,” terangnya.
Tentunya dengan membengkaknya biaya operasional melaut tersebut, maka dirinya dan nelayan di Kecamatan Banyuasin II tepatnya di lima desa tersebut dipastikan akan berhenti melaut. “Saya akan berhenti melaut karena biaya operasional tinggi. Untuk selanjutnya, dirinya akan memikirkan jalan selanjutnya,” tukasnya.
Kondisi ini diperparah dengan tidak adanya kenaikan harga jual ikan. Pascakenaikan BBM, biasanya harga ikan akan merangkak naik setelah tiga atau empat bulan kemudian. Jika harga ikan naik, dirinya dan nelayan lain akan kembali melaut, dan beroperasional seperti biasa.
”Harga ikan biasanya bisa naik Rp 500 sampai Rp 1000/kg,” tandasnya. Henri mengungkapkan, dari biaya operasional yang dikeluarkan kadang Rp 4-6 juta untuk melaut selama enam hari tersebut, dirinya hanya mendapatkan hasil jual ikan sebesar Rp 5-7 juta. Bila dihitung, hanya mendapatkan keuntungan Rp 1 juta selama enam hari melaut.
Itu pun dibagi dengan anak buah kapal berjumlah tiga orang dengan mendapatkan lima persen dari keuntungan. Bahkan kadangkala, dirinya mengalami kerugian, dikarenakan hasil tangkapan ikan di laut sepi. Uang operasional sebesar Rp 4-6 juta tersebut terdiri dari biaya BBM, biaya makan, biaya perlengkapan menyimpan ikan dan lain sebagainya. Oleh karena itu, dirinya berharap kepada pemerintah baik itu Kabupaten Banyuasin, Provinsi Sumatera Selatan maupun pusat untuk memberikan subsidi kepada para nelayan di wilayah Kecamatan Banyuasin II tepatnya di wilayah Sungsang ini.
”Kami sebagai nelayan sangat mengharapkan adanya subsidi dari pemerintah, karena kami mau makan apa jika sampai harga BBM naik,” tukasnya. Selain masalah bengkaknya biaya operasional, nelayan juga mengeluhkan distribusi BBM di wilayah Sungsang yang tidak merata. Bahkan dikatakan tidak mencukupi untuk nelayan di Sungsang.
”Kami di sini hanya mendapatkan BBM jenis solar sebanyak 20 liter. Tentu itu tidak cukup untuk melaut selama enam hari. Maka dari itu, untuk mencukupi keperluan melaut, dirinya membutuhkan bahan bakar minyak 250 liter dengan cara membeli di pedagang eceran dengan harga mencapai Rp 7 ribu,” ujarnya.
Belum lagi diperparah masalah soal perawatan mesin speed atau perahu. Dalam satu bulan dirinya mengeluarkan uang saku sebesar Rp 1 juta, belum lagi biaya perawatan perahu atau speed yang digunakan tersebut. “Bisa-bisa mengeluarkan biaya tambahan mencapai Rp 1 juta lebih, tapi itu risiko menjadi nelayan,” bebernya.
Masalah cuaca juga menjadi permasalahan buat nelayan di Sungsang ini karena angin barat mengganggu para nelayan, sehingga para nelayan akan menjadi terganggu dengan tidak melaut. “Akibat angin barat, nelayan di Sungsang kebanyakan tidak melaut karena ombak yang tinggi, angin kencang mengganggu para nelayan melaut,” terangnya.
Memang diakuinya untuk menjadi nelayan di wilayah Sungsang ini mengeluarkan biaya besar, mulai dari pembuatan kapal harus mengeluarkan uang Rp 150 juta. “Itu mulai bisa melaut, perlengkapan kapal sudah lengkap, dari kamar, penyimpanan ikan menggunakan es, tapi biayanya besar untuk melengkapi hal tersebut,” jelasnya.
Sebelumnya, Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Ir Kosarudin melalui Kepala Bidang Tangkap, Ir Rahmayeni mengungkapkan, sektor perikanan di Kabupaten Banyuasin menjanjikan. Bahkan hasilnya sudah diekspor ke luar negeri . “Negara yang menjadi tujuan ekspor adalah Uni Eropa, Hongkong dan beberapa negara di Asia lainnya,” ujarnya.
Menurutnya, potensi ini akan terus ditingkatkan. Ikan yang memiliki daya jual atau nilai ekonomis yaitu ikan sebelah, ikan peperek, ikan manyun, ikan kerapu, ikan kakap, ikan cucut, ikan pari, ikan bawal hitam, ikan bawal putih, ikan selar, ikan kembung, ikan tenggiri papan, ikan tongkol, udang ronggeng atau mesir, udang windu, udang jerbung, udang dogol, kepiting bakau, kerang darah, dan rajungan.
Namun bukan nelayan langsung yang menjualnya ke luar negeri, tapi melalui pengepul ikan yang ada di wilayah Kecamatan Banyuasin II, kemudian disalurkan melalui perusahaan yang ada di Mariana. “Jadi perusahaan di Mariana itu akan menyalurkan ke luar negeri. Tapi ada juga pengepul yang menjualnya ke luar negeri langsung dengan pihak perantara yang ada,” bebernya. Dari hasil pendapatan ikan yang dilakukan para nelayan, Pemerintah Kabupaten Banyuasin sendiri mendapatkan pendapatan asli daerah (PAD) di sektor perikanan dan kelautan.
Para nelayan di wilayah tersebut, biasanya mencari ikan di wilayah Selat Bangka, perairan Jambi. Dimana daerah itu merupakan tempat mereka mencari ikan. Banyuasin sendiri berbatasan langsung dengan utara Kabupaten Muaro Jambi, Provinsi Jambi dan Selat Bangka, timur Kecamatan Air Sugihan dan Kecamatan Pampangan, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI). Alat yang digunakan nelayan untuk menangkap ikan ialah jaring troll. Nah, jaring tersebut sebenarnya dilarang untuk dipakai, hal itu disebabkan dapat menjaring semua jenis ikan, baik itu kecil dan besar. (qda/asa/ce2)
Nelayan di Sumatera Selatan (Sumsel) masih dihadapkan pada berbagai keterbatasan. Terutama saat melaut. Akibatnya, tidak sedikit dari mereka (nelayan, red) menjual murah hasil tangkapannya di laut.
Ini lantaran kapal penangkapan ikan (inka mina) belum dilengkapi mesin pendingin (insulasi) untuk mengawetkan ikan. “Ikan itu akan membusuk jika dijual setelah mendarat, sebab untuk mendarat butuh waktu lama,” ujar Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sumsel, Sri Dewi Titi Sari melalui Kasubag Perencanaan Assalahudin Kurnia Ilahi, kemarin (11/11).
Pihaknya sendiri masih terkendala dana untuk membeli mesin pengawet tersebut. Karena harganya mencapai Rp 700 juta per unit. “Kita memiliki 15 kapal tangkap. Semuanya belum dilengkapi insulasi karena terkendala dana. Tapi tahun depan akan kita anggarkan demi mendapatkan hasil penjualan ikan yang maksimal,” ungkapnya.
Saat ini Sumsel hanya memiliki luas laut yang sempit. Yakni berkisar 8.105,97 m2 dengan potensi ikan tangkapan sebanyak 44.762,9 ton per tahun atau sekitar 26 persen. Itu dihitung dari total ikan di Sumsel yang mencapai 435.001 ton pada 2013 lalu. Ia berharap tahun depan hasil tangkapan ikan di laut terus meningkat. Namun, tidak jadi prioritas, karena pemfokusan pada budidaya ikan air tawar. “Kami akan fokus di perairan daratan. Karena lokasi air daratan Sumsel sangat luas yang mencapai 2.505.000 hektare,” ucapnya.
Ia menjelaskan, secara geografis Sumsel memiliki lautan yang sangat sempit yaitu berada di Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI) dan Banyuasin. Itu pun tidak bisa dikatakan maritim karena bukan lautan luas dan dalam. Kata maritim, lanjut dia, secara perspektif adalah lautan dalam dengan maksimum kedalaman mencapai 200 meter. Sedangkan lautan di Sumsel bukan kategori laut dalam sehingga tidak bisa disebut maritim.
”Kita ini disebut dengan laut pesisir, makanya potensi tangkapan ikan tidak terlalu banyak. Kami memfokukan pada budidaya,” terangnya. Potensi ikan di laut Sumsel juga semakin berkurang. Karena telah mengalami kejenuhan dan luas lautan yang berkurang seluas 520 m2 setelah pemisahan Pulau Bangka Belitung menjadi provinsi sendiri. Ditambah peralatan para nelayan yang belum modern membuat hasil tangkapan diprediksi terus menurun.
Pihaknya terus mengupayakan untuk mengurngi jumlah nelayan di Sumsel agar beralih mengelola tambak, sebab secara ekonomis saat ini hasil tangkapan dengan biaya yang dikeluarkan nelayan sudah mulai tidak sebanding karena bahan bakar minyak (BBM) mahal dan langka. Apalagi para nelayan membutuhkan waktu berkisar 20 jam untuk mencapai ke laut. (art/asa/ce2)
Meski Kecamatan Banyuasin II sebagian besar penduduknya nelayan, tidak mesti harus melaut. Ada program lain yang bisa dibidik. Salah satunya, nelayan budidaya.
”Jadi tidak harus melaut mencari ikan, tapi bia menjadi nelayan budidaya, sehingga jika operasional mereka terhenti, maka mereka ada pendapatan lain dengan berbudidaya ikan,” ujar anggota DRPD Kabupaten Banyuasin Sukardi, kemarin. Selama ini mereka menggantungkan diri dengan nelayan melaut, bahkan itu dilakukan bertahun-tahun, maka dari itu harus ada solusi terbaik buat para nelayan di wilayah Sungsang itu. “Mereka dapat berbudidaya ikan seperti ikan lele, udang dan lain sebagainya,” jelasnya.
Karena berdasarkan pengamatannya, jika mereka tidak melaut, maka mereka (nelayan, red) akan menjadi pengangguran di rumah saja. “Jadi tiak ada kerjaan, sehingga untuk memenuhi kebutuhan ekonomi mereka kesulitan,” tukasnya.
Selain itu, permasalahan untuk nelayan yaitu kekurangan kuota BBM di wilayah Sungsang. Dimana jumlah kuota BBM yang ada di wilayah Sungsang tidak mencukupi untuk keperluan para nelayan. “Mereka hanya diberikan jatah satu nelayan, yaitu untuk satu nelayan diberikan jatah 20 sampai 40 liter, sisanya untuk mencukupi keperluan melaut harus membeli di pedagang eceran dengan harga yang cukup tinggi,” tandasnya.
Potensi sektor perikanan juga ada di Kabupaten OKI. Ini dibuktikan dengan dengan produksi perikanan di kabupaten tersebut cukup tinggi. Pada 2013 setidaknya mencapai 20.834 ton perikanan laut, 11.683 ton perikanan umum dan perikanan budidaya menghasilkan sebanyak 3.403 ton ikan. Jenis ikan yang dibudidayakan di antaranya ikan patih, gabus, nila, dan betutu.
Kabag Humas Pemkab OKI Dedi Kurniawan SSTP mengatakan, di OKI terdapat perusahaan tambak udang besar yang berkualitas ekspor. Disamping itu juga ada salah satu sumber daya agrarian yang penting bagi masyarakat pedesaan di OKI. (qda/art/hak/asa/ce2)
Destinasi Wisata, Tampilkan Kawasan Parairan
Pemerintah Kabupaten Banyuasin bakal menjadikan Kecamatan Banyuasin II, tepatnya di kawasan Sungsang sebagai kawasan wisata, sehingga nantinya jika sudah terwujud akan banyak wisatawan lokal dan mancanegara berkunjung.
“Rencananya akan kita jadikan destinasi wisata, yaitu Kampung Nelayan Sungsang,” ujar Bupati Banyuasin, Yan Anton Ferdian SH. Masih kata Yan, ini sesuai dengan Peraturan Daerah Kabupaten Banyuasin nomor 28 tahun 2012 tentang tata ruang wiliyah (RTRW) Kabupaten Banyuasin tahun 2012-2013.
”Jadi sudah sesuai peraturan untuk mengaturnya,” bebernya. Lebih lanjut, Yan menambahkan, dengan adanya RTRW itu maka dapat mengakomodir untuk mengembangkan kawasan wisata nelayan pesisir yang tersebar di wilayah Kecamatan Banyuasin II, khususnya daerah Sungsang dan Muara Baru.
Diharapkan dengan adanya kawasan wisata ini, para wisatawan baik itu dalam negeri dan mancanegara akan tertarik dan mendatangi Kabupaten Banyuasin. “Juga menambah pendapatan asli daerah Banyuasin,” ucapnya. Sebelumnya, kata Yan, Pemkab Banyuasin sudah memiliki kawasan pariwisata dan perlindungan hutan, di antaranya Taman Nasional Sembilang.
”Kawasan perairan ini pun akan menjadi objek pariwisata air dengan potensi perikanannya,” imbuhnya. Selain itu Yan menerangkan, untuk di Kabupaten Banyuasin sudah terbagi beberapa tata ruang dan kawasan, seperti untuk kawasan penyangga besar terdapat di tiga delta penghasil beras yaitu Kecamatan Air Saleh, Kecamatan Muara Telang, dan Kecamatan Makartijaya. (qda/asa/ce2)
0 komentar:
Posting Komentar