Rabu, 12 November 2014

Melihat Aktivitas Kampung Nelayan Sungsang, Kabupaten Banyuasin

Tambah Kuota BBM, Butuh Biaya Besar



Melihat Aktivitas Kampung Nelayan Sungsang,  Kabupaten Banyuasin
Dengan berkelompok, para nelayan di perairan Sungsang sejak pagi mulai sibuk menyiapkan perlengkapan untuk menangkap ikan di laut lepas

Beban nelayan akan akan bertambah. Selain mahalnya biaya operasional untuk melaut, mereka pun dihadapkan pada rencana kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) yang dilakukan pemerintah. Berikut penelusuran Sumatera Ekspres di Kampung Nelayan Sungsang, Banyuasin.

Kecamatan Banyuasin II, Kabupaten Banyuasin dikenal sebagai wilayah kampung nelayan. Ini lantaran luasnya wilayah perairan di daerah itu. Kecamatan ini sendiri memiliki 17 desa dengan dengan jumlah penduduk 53 ribu jiwa. Potensi unggulan yang terdapat di kawasan itu ialah sektor perikanan.

Bahkan 85 persen penduduk di lima desa berprofesi sebagai nelayan. Tersebar di Desa Marga Sungsang, Desa Sungsang I, Desa Sungsang II, Desa Sungsang III, dan terakhir Desa Sungsang IV. Untuk itulah wilayah tersebut dijuluki sebagai kampung nelayan. Hanya saja, seiring waktu, banyak persoalan yang dihadapi para nelayan.

Di antaranya, biaya operasional mahal, perlengkapan melaut yang minim hingga terbatasnya kuota BBM. Belum lagi harga BBM yang akan mengalami kenaikan. Kondisi inilah yang membuat nelayan menjerit. “Kami minta ada kebijakan nyata untuk kaum nelayan di Banyuasin ini. Jangan sampai nelayan makin susah,” ujar Henri (38), warga Desa Marga Sungsang, yang sudah menjalani profesi sebagai nelayan selama 15 tahun tersebut.

Dikatakan, para nelayan di Kecamatan Banyuasin II akan merasakan dampak yang sangat besar dari kenaikan BBM. Karena biaya opersional melaut akan membengkak dari biaya yang sebelumnya. “Dampaknya sangat besar mas, mulai dari biaya operasional yang tinggi hingga keperluan lain. Jika biaya operasional yang dikeluarkan mencapai Rp 4-6 juta untuk enam hari enam malam, maka bisa bertambah menjadi Rp 8-10 juta,” terangnya.

Tentunya dengan membengkaknya biaya operasional melaut tersebut, maka dirinya dan nelayan di Kecamatan Banyuasin II tepatnya di lima desa tersebut dipastikan akan berhenti melaut. “Saya akan berhenti melaut karena biaya operasional tinggi. Untuk selanjutnya, dirinya akan memikirkan jalan selanjutnya,” tukasnya.

Kondisi ini diperparah dengan tidak adanya kenaikan harga jual ikan. Pascakenaikan BBM, biasanya harga ikan akan merangkak naik setelah tiga atau empat bulan kemudian. Jika harga ikan naik, dirinya dan nelayan lain akan kembali melaut, dan beroperasional seperti biasa.

”Harga ikan biasanya bisa naik Rp 500 sampai Rp 1000/kg,” tandasnya. Henri mengungkapkan, dari biaya operasional yang dikeluarkan kadang Rp 4-6 juta untuk melaut selama enam hari tersebut, dirinya hanya mendapatkan hasil jual ikan sebesar Rp 5-7 juta. Bila dihitung, hanya mendapatkan keuntungan Rp 1 juta selama enam hari melaut.

Itu pun dibagi dengan anak buah kapal berjumlah tiga orang dengan mendapatkan lima persen dari keuntungan. Bahkan kadangkala, dirinya mengalami kerugian, dikarenakan hasil tangkapan ikan di laut sepi. Uang operasional sebesar Rp 4-6 juta tersebut terdiri dari biaya BBM, biaya makan, biaya perlengkapan menyimpan ikan dan lain sebagainya. Oleh karena itu, dirinya berharap kepada pemerintah baik itu Kabupaten Banyuasin, Provinsi Sumatera Selatan maupun pusat untuk memberikan subsidi kepada para nelayan di wilayah Kecamatan Banyuasin II tepatnya di wilayah Sungsang ini.

”Kami sebagai nelayan sangat mengharapkan adanya subsidi dari pemerintah, karena kami mau makan apa jika sampai harga BBM naik,” tukasnya. Selain masalah bengkaknya biaya operasional, nelayan juga mengeluhkan distribusi BBM di wilayah Sungsang yang tidak merata. Bahkan dikatakan tidak mencukupi untuk nelayan di Sungsang.

”Kami di sini hanya mendapatkan BBM jenis solar sebanyak 20 liter. Tentu itu tidak cukup untuk melaut selama enam hari. Maka dari itu, untuk mencukupi keperluan melaut, dirinya membutuhkan bahan bakar minyak 250 liter dengan cara membeli di pedagang eceran dengan harga mencapai Rp 7 ribu,” ujarnya.

Belum lagi diperparah masalah soal perawatan mesin speed atau perahu. Dalam satu bulan dirinya mengeluarkan uang saku sebesar Rp 1 juta, belum lagi biaya perawatan perahu atau speed yang digunakan tersebut. “Bisa-bisa mengeluarkan biaya tambahan mencapai Rp 1 juta lebih, tapi itu risiko menjadi nelayan,” bebernya.

Masalah cuaca juga menjadi permasalahan buat nelayan di Sungsang ini karena angin barat mengganggu para nelayan, sehingga para nelayan akan menjadi terganggu dengan tidak melaut. “Akibat angin barat, nelayan di Sungsang kebanyakan tidak melaut karena ombak yang tinggi, angin kencang mengganggu para nelayan melaut,” terangnya.

Memang diakuinya untuk menjadi nelayan di wilayah Sungsang ini mengeluarkan biaya besar, mulai dari pembuatan kapal harus mengeluarkan uang Rp 150 juta. “Itu mulai bisa melaut, perlengkapan kapal sudah lengkap, dari kamar, penyimpanan ikan menggunakan es, tapi biayanya besar untuk melengkapi hal tersebut,” jelasnya.

Sebelumnya, Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Ir Kosarudin melalui Kepala Bidang Tangkap, Ir Rahmayeni mengungkapkan, sektor perikanan di Kabupaten Banyuasin menjanjikan. Bahkan hasilnya sudah diekspor ke luar negeri . “Negara yang menjadi tujuan ekspor adalah Uni Eropa, Hongkong dan beberapa negara di Asia lainnya,” ujarnya.

Menurutnya, potensi ini akan terus ditingkatkan. Ikan yang memiliki daya jual atau nilai ekonomis yaitu ikan sebelah, ikan peperek, ikan manyun, ikan kerapu, ikan kakap, ikan cucut, ikan pari, ikan bawal hitam, ikan bawal putih, ikan selar, ikan kembung, ikan tenggiri papan, ikan tongkol, udang ronggeng atau mesir, udang windu, udang jerbung, udang dogol, kepiting bakau, kerang darah, dan rajungan.

Namun bukan nelayan langsung yang menjualnya ke luar negeri, tapi melalui pengepul ikan yang ada di wilayah Kecamatan Banyuasin II, kemudian disalurkan melalui perusahaan yang ada di Mariana. “Jadi perusahaan di Mariana itu akan menyalurkan ke luar negeri. Tapi ada juga pengepul yang menjualnya ke luar negeri langsung dengan pihak perantara yang ada,” bebernya. Dari hasil pendapatan ikan yang dilakukan para nelayan, Pemerintah Kabupaten Banyuasin sendiri mendapatkan pendapatan asli daerah (PAD) di sektor perikanan dan kelautan.

Para nelayan di wilayah tersebut, biasanya mencari ikan di wilayah Selat Bangka, perairan Jambi. Dimana daerah itu merupakan tempat mereka mencari ikan. Banyuasin sendiri berbatasan langsung dengan utara Kabupaten Muaro Jambi, Provinsi Jambi dan Selat Bangka, timur Kecamatan Air Sugihan dan Kecamatan Pampangan, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI). Alat yang digunakan nelayan untuk menangkap ikan ialah jaring troll. Nah, jaring tersebut sebenarnya dilarang untuk dipakai, hal itu disebabkan dapat menjaring semua jenis ikan, baik itu kecil dan besar. (qda/asa/ce2)

Ikan Dijual Murah di Laut



Nelayan di Sumatera Selatan (Sumsel) masih dihadapkan pada berbagai keterbatasan. Terutama saat melaut. Akibatnya, tidak sedikit dari mereka (nelayan, red) menjual murah hasil tangkapannya di laut.

Ini lantaran kapal penangkapan ikan (inka mina) belum dilengkapi mesin pendingin (insulasi) untuk mengawetkan ikan. “Ikan itu akan membusuk jika dijual setelah mendarat, sebab untuk mendarat butuh waktu lama,” ujar Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sumsel, Sri Dewi Titi Sari melalui Kasubag Perencanaan Assalahudin Kurnia Ilahi, kemarin (11/11).

Pihaknya sendiri masih terkendala dana untuk membeli mesin pengawet tersebut. Karena harganya mencapai Rp 700 juta per unit. “Kita memiliki 15 kapal tangkap. Semuanya belum dilengkapi insulasi karena terkendala dana. Tapi tahun depan akan kita anggarkan demi mendapatkan hasil penjualan ikan yang maksimal,” ungkapnya.

Saat ini Sumsel hanya memiliki luas laut yang sempit. Yakni berkisar 8.105,97 m2 dengan potensi ikan tangkapan sebanyak 44.762,9 ton per tahun atau sekitar 26 persen. Itu dihitung dari total ikan di Sumsel yang mencapai 435.001 ton pada 2013 lalu. Ia berharap tahun depan hasil tangkapan ikan di laut terus meningkat. Namun, tidak jadi prioritas, karena pemfokusan pada budidaya ikan air tawar. “Kami akan fokus di perairan daratan. Karena lokasi air daratan Sumsel sangat luas yang mencapai 2.505.000 hektare,” ucapnya.

Ia menjelaskan, secara geografis Sumsel memiliki lautan yang sangat sempit yaitu berada di Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI) dan Banyuasin. Itu pun tidak bisa dikatakan maritim karena bukan lautan luas dan dalam. Kata maritim, lanjut dia, secara perspektif adalah lautan dalam dengan maksimum kedalaman mencapai 200 meter. Sedangkan lautan di Sumsel bukan kategori laut dalam sehingga tidak bisa disebut maritim.

”Kita ini disebut dengan laut pesisir, makanya potensi tangkapan ikan tidak terlalu banyak. Kami memfokukan pada budidaya,” terangnya. Potensi ikan di laut Sumsel juga semakin berkurang. Karena telah mengalami kejenuhan dan luas lautan yang berkurang seluas 520 m2 setelah pemisahan Pulau Bangka Belitung menjadi provinsi sendiri. Ditambah peralatan para nelayan yang belum modern membuat hasil tangkapan diprediksi terus menurun.

Pihaknya terus mengupayakan untuk mengurngi jumlah nelayan di Sumsel agar beralih mengelola tambak, sebab secara ekonomis saat ini hasil tangkapan dengan biaya yang dikeluarkan nelayan sudah mulai tidak sebanding karena bahan bakar minyak (BBM) mahal dan langka. Apalagi para nelayan membutuhkan waktu berkisar 20 jam untuk mencapai ke laut. (art/asa/ce2)

Bidik Nelayan Budidaya



Meski Kecamatan Banyuasin II sebagian besar penduduknya nelayan, tidak mesti harus melaut. Ada program lain yang bisa dibidik. Salah satunya, nelayan budidaya.

”Jadi tidak harus melaut mencari ikan, tapi bia menjadi nelayan budidaya, sehingga jika operasional mereka terhenti, maka mereka ada pendapatan lain dengan berbudidaya ikan,” ujar anggota DRPD Kabupaten Banyuasin Sukardi, kemarin. Selama ini mereka menggantungkan diri dengan nelayan melaut, bahkan itu dilakukan bertahun-tahun, maka dari itu harus ada solusi terbaik buat para nelayan di wilayah Sungsang itu. “Mereka dapat berbudidaya ikan seperti ikan lele, udang dan lain sebagainya,” jelasnya.

Karena berdasarkan pengamatannya, jika mereka tidak melaut, maka mereka (nelayan, red) akan menjadi pengangguran di rumah saja. “Jadi tiak ada kerjaan, sehingga untuk memenuhi kebutuhan ekonomi mereka kesulitan,” tukasnya.

Selain itu, permasalahan untuk nelayan yaitu kekurangan kuota BBM di wilayah Sungsang. Dimana jumlah kuota BBM yang ada di wilayah Sungsang tidak mencukupi untuk keperluan para nelayan. “Mereka hanya diberikan jatah satu nelayan, yaitu untuk satu nelayan diberikan jatah 20 sampai 40 liter, sisanya untuk mencukupi keperluan melaut harus membeli di pedagang eceran dengan harga yang cukup tinggi,” tandasnya.

Potensi sektor perikanan juga ada di Kabupaten OKI. Ini dibuktikan dengan dengan produksi perikanan di kabupaten tersebut cukup tinggi. Pada 2013 setidaknya mencapai 20.834 ton perikanan laut, 11.683 ton perikanan umum dan perikanan budidaya menghasilkan sebanyak 3.403 ton ikan. Jenis ikan yang dibudidayakan di antaranya ikan patih, gabus, nila, dan betutu.

Kabag Humas Pemkab OKI Dedi Kurniawan SSTP mengatakan, di OKI terdapat perusahaan tambak udang besar yang berkualitas ekspor. Disamping itu juga ada salah satu sumber daya agrarian yang penting bagi masyarakat pedesaan di OKI. (qda/art/hak/asa/ce2)

Jadi Kampung Nelayan



Destinasi Wisata, Tampilkan Kawasan Parairan
Pemerintah Kabupaten Banyuasin bakal menjadikan Kecamatan Banyuasin II, tepatnya di kawasan Sungsang sebagai kawasan wisata, sehingga nantinya jika sudah terwujud akan banyak wisatawan lokal dan mancanegara berkunjung.

“Rencananya akan kita jadikan destinasi wisata, yaitu Kampung Nelayan Sungsang,” ujar Bupati Banyuasin, Yan Anton Ferdian SH. Masih kata Yan, ini sesuai dengan Peraturan Daerah Kabupaten Banyuasin nomor 28 tahun 2012 tentang tata ruang wiliyah (RTRW) Kabupaten Banyuasin tahun 2012-2013.

”Jadi sudah sesuai peraturan untuk mengaturnya,” bebernya. Lebih lanjut, Yan menambahkan, dengan adanya RTRW itu maka dapat mengakomodir untuk mengembangkan kawasan wisata nelayan pesisir yang tersebar di wilayah Kecamatan Banyuasin II, khususnya daerah Sungsang dan Muara Baru.

Diharapkan dengan adanya kawasan wisata ini, para wisatawan baik itu dalam negeri dan mancanegara akan tertarik dan mendatangi Kabupaten Banyuasin. “Juga menambah pendapatan asli daerah Banyuasin,” ucapnya. Sebelumnya, kata Yan, Pemkab Banyuasin sudah memiliki kawasan pariwisata dan perlindungan hutan, di antaranya Taman Nasional Sembilang.

”Kawasan perairan ini pun akan menjadi objek pariwisata air dengan potensi perikanannya,” imbuhnya. Selain itu Yan menerangkan, untuk di Kabupaten Banyuasin sudah terbagi beberapa tata ruang dan kawasan, seperti untuk kawasan penyangga besar terdapat di tiga delta penghasil beras yaitu Kecamatan Air Saleh, Kecamatan Muara Telang, dan Kecamatan Makartijaya. (qda/asa/ce2)

Sumber: Sumatera Ekspres, Rabu, 12 November 2014

Selasa, 07 Januari 2014

Gas Nyembur, Warga Ngungsi

Gas Nyembur, Warga Ngungsi
Bikin Panik: Petugas kepolisian berjaga di sumur minyak MJ 89, tepatnya di Jalan YKB depan SDN 2 Mangunjaya yang sempat mengeluarkan semburan gas sehingga membuat warga ekitar mengungsi

BABAT TOMAN --- Pengelolaan sumur minyak secara ilegal (ilegal drilling, red) yang dilakukan warga Desa Bruge, Kelurahan Mangunjaya, Kecamatan Babat Toman, terus berdampak buruk bagi kehidupan masyarakat dan lingkungan sekitar.

Pasalnya, semburan gas keluar dari sumur minyak MJ 89, tepatnya di Jalan SMP YKB depan SDN 2 Mangunjaya, persis di belakang rumah salah sorang warga, Azhar. Informasi yang dihimpun, semburan gas kering mengandung H2S, Minggu (5/1) sekitar pukul 17.30 WIB, menyerang warga menyelimuti wilayah Mangunjaya.

Beberapa warga terpaksa mengungsi menghindari semburan gas yang mematikan dan rawan terbakar tersebut. Warga, yakni Abdul Motolik, Mesran, H Zukar berinisiatif untuk cepat melaporkan kejadian ke PT Pertamina EP Asset I Field Ramba SP Mangunjaya.

Selang beberapa menit, petugas Pertamina datang dan segera melakukan penutupan saluran semburan gas dan kondisi kembali aman. Usai penutupan semburan gas itu. Pihak PT Pertamina EP Asset I Field Ramba SP Mangunjaya Ubep melakukan pembongkaran pengelolaan illegal drilling dan diambil alih oleh perusahaan BUMN itu.

"Kami mencium aroma gas yang menyengat dan keluar dari sumur minyak itu. Takut terjadi kebakaran, saya dan keluarga terpaksa keluar rumah dan mengungsi ke rumah keluarga yang letaknya 200 meter dari lokasi semburan gas," ujar salah seorang warga yang tak mau disebutkan namanya.

Terpisah, PR Manager PT Pertamina EP< Agus Amperianto mengatakan, sumur minyak MJ 89 milik PT Pertamina EP Field Ramba, Minggu (5/1), sekitar pukul 17.30 WIB, mengeluarkan bunyi dan semburan gas.

"Semburan gas itu terjadi akibat aktivitas penambangan liar yang membuka proteksi sumur (blind flange)," ujarnya. (yud/vin/ce5)

Sumatera Ekspres, Selasa 7 Januari 2014

Elpiji 3 kg Langka

Elpiji 3 kg Langka
Makin Susah: Naiknya harga elpiji 12 kg membuat warga Sumsel, termasuk di Kabupaten PALI beralih ke elpiji 3 kg. Tampak warga membeli elpiji 3 kg di Rusun Palembang

PALI Kebijakan PT Pertamina menaikan harga elpiji nonsubsidi kemasan 12 kg secara serentak di seluruh Indonesia ternyata berimbas ke wilayah Pendopo, Kecamatan Talang Ubi, Kabupaten Penungkal Abab Lematang Ilir (PALI).

Mendadak elpiji subsidi tersebut langkah di pasaran. Tak ayal, warga yang hendak menukarkan tabung miliknya pun kelabakan. Seperti diungkapkan Robby, warga Handayani Mulia, Kecamatan Talang Ubi, Kabupaten PALI, ia sulit sulit mencari tabung elpiji melon meski telah berkeliling ke sejumlah toko.

"Untung saja di Talang Ubi ada. Itu pun tinggal berapa tabung. Telat dikit saja bisa tidak kebagian. Padahal jarak rumah saya dengan Talang Ubi sekitar satu kilometer lebih," ujarnya.

Meski langka, harganya masih Rp 18 ribu per tabung. Nasib sama dialami Taufik, warga Talang Pegang, Kecamatan Talang Ubi. Meskipun rumahnya tidak jauh dari pasar impres, Taufik juga mengaku kesulitan mendapatkan tabung elpiji 3 kg

"Di warung-warung dekat rumah sudah habis galo," kata Taufik yang juga berprofesi sebagai guru itu. Pantauan koran ini, di beberapa warung pengecer, tabung gas elpiji 3 kg mengalami kekosongan.

Wandi, pemilik salah satu toko mengaku tidak berniat menjual elpiji tabung 12 kg. Ia sempat bertanya di agen, harganya sudah mencapai Rp 145 ribu. "Kalau sudah semahal itu, berapo lagi kami mau jual," keluhnya. (ebi/win/ce5)

Sumatera Ekspres, Selasa, 7 Januari 2014

Senin, 06 Januari 2014

Harga Cabai Meroket

Harga Cabai Meroket

MUSI RAWAS --- tidak hanya harga gas elpiji 12 kg yang mengalami kenaikan beberapa hari terakhir. Sebagian kebutuhan pokok lainnya juga mengalami hal sama. Misalnya saja, sayur mayur seperti cabai merah yang melonjak dua kali lipat.

Devi, salah seorang pedangang di pasar tradisional B Srikaton, Kecamatan Tugumulyo mengungkapkan, harga cabai merah sebelumnya per kilo dijual Rp40 ribu, kini naik menjadi Rp50 ribu. kenaikan harga cabai merah tersebut sudah terjadi sepekan terakhir, dampak dari musim hujan. "Kalau tidak menaikan harga, kami tidak dapat untung," ungkapnya.

Dia menjelaskan, kenaikan harga cabai merah sudah dari petani Curup, Bengkulu yang mana sebagian besar komoditi sayur mayur, khususnya cabai berasal dari sana. "Harga itu juga sudah naik dari petani Curup yang mengirimkan cabai tersebut," jelasnya.

Sama halnya dengan Rina, penjual cabai di Pasar B Srikaton. Kenaikan harga cabai terus meningkat tajam, pasalnya harga yang sebelumnya Rp25 ribu naik menjadi Rp40 ribu dan saat ini menjadi Rp50 ribu per kilonya. Bahkan dirinya tidak mau mengambil risiko dengan membeli dalam jumlah banyak. "Kami juga mau dapat untung, makanya kami ikut menaikan harga. Memang sudah dari sana kok," celetuk Rina.

Sementara itu, Kepala Dinas Perindustrian Perdagangan dan Pasar (Disperindagsar) Kabupaten Mura, Yamin Pabli mengatakan, pihaknya akan menerjunkan tim ke lapangan guna mengetahui melonjaknya harga cabai merah tersebut. Tak hanya itu, harga sembako lainnya juga akan dilakukan pemantauan. "Kami akan segera menerjunkan tim untuk mengecek ke lapangan. Termasuk komoditi sayur mayur yang lainnya," pungkasnya. (wek/ce5)

Sumatera Ekspres, Senin, 6 Januari 2014

Petani Kubis Merugi


Hama Bambang Menyerang



Petani Kubis Merugi
HAMA: Serangan hama bambang sejenis kupu-kupu putih mengakibatkan kualitas tanaman kubis di Pagaralam menurun. Selain menimbulkan keriting, hama ini juga bisa membuat tanaman mati


PAGARALAM --- Cuaca yang tidak menentubeberapa bulan terakhir berimbas pada kualitas produksi jenis sayuran. Salah satunya kubis di wilayah Batang Bange, Kecamatan Pagaralam Utara, yang diserang hama bambang berupa kupu-kupu putih yang membuat kubis keriting dan mati.


"Hama kupu-kupu putih yang memakan tanaman ini dinamai petani hama bambang. Jika terserang hama ini, maka kubis tidak tumbuh alias mati dan keriting menguning," terang Bari (53) petani kubis di Dusun Batang Bange. Serangan hama ini tidak hanya menyerang kebun kubisnya yang saat ini sudah mulai masuk masa panen, tapi juga sudah menyerang hampir merata di daerah ini. Jika diserang sudah hampir panen petani masih bisa panenmeskipun hasilnya tidak akan sesuai dengan harapan petani yang ada.

Tapi jika belum masuk masa panen, maka petani akan mengalami rugi besar akibat tanaman yang ada tidak tumbuh dengan baik. "Untuk satu hektare lahan kebun kubis yang modalnya sekitar Rp1 jutaan biasanya petani kubis memanen sekitar 10 ton kubis. Namun jika sudah diserang hama ini paling banyak petani dapat hasil sekitar 2 ton saja," beber Bari seraya mengatakan, saat ini harga jual kubis cukup tinggi sekitar Rp2.500 per kilonya.

Senada diungkapkan Adi (34) salah seorang petani kubis daerah setempat. Menurutnya, tanaman kubis ini sangat rentan dengan cuaca yang menyebabkan daunya kering. "Sebagian tanaman kubis daunnya mulai kering akibat diserang hama bambang ini," tegasnya seraya memperlihatkan beberapa buah tanaman kubis miliknya yang telah keriting.

Kepala Dinas Tanaman Pangan dan Hotikultura, Ir Jumaldi Jani MM melalui Kasi Pengendalian Penyakit Hama Tanaman (PPHT) Encon Isworo mengatakan, pada musim pancaroba sejumlah hama dan penyakit rentan menyerang tanaman petani yang ada di Kota Pagaralam. Untuk itu, pihaknya melalui penyuluh pertanian yang ada disetiap kecamatan melakukan penyuluhan terkait cara-cara pencegahan dan penanggulangan sejumlah hama dan penyakit yang ada. "Untuk kasus yang ada pihaknya akan menerjunkan tim untuk mengecek," tegasnya. (aid/ce5)

Sumatera Ekspres, Senin, 6 Januari 2014