Selasa, 14 Mei 2013

Upaya Mengejar Target Swasembada Sapi dan Kerbau di Provinsi Sumsel

Ada banyak usaha untuk meningkatkan untuk meningkatkan produktivitas ternak dalam rangka mewujudkan swasembada daging di Sumsel. Dua di antaranya yang penting yakni penggunaan teknologi dan pentingnya mengatasi berbagai penyakit ternak yang dapat mengganggu produktivitas.



DRH Nugroho Sampurno, dokter hewan dari Bandung, menerangkan, pihaknya mengenalkan produk obat ternak, baik sapi, kambing, domba. Maupun kerbau. Ini untuk menunjang pengembangan peternakan di Sumsel. “Kedua, kedatangan kita memberikan informasi kepada khalayak sedang digalakkan program swasembada daging,” ungkapnya.

Berdasarkan data terakhir Kementerian Pertanian cq Ditjen Peternakan, jumlah sapi potong di Sumsel 265.583 ekor. Akhir tahun ini ditargetkan menjadi 355.583 ekor. “Dari populasi itu, seandainya ditangan dengan benar, maka akan melahirkan anakan sapi yang melimpah,” katanya.

Salah satu upaya menunjuang besarnya ternak sapi yaitu pemberian obat. Pasalnya, sapi sangat rentan terkena penyakit, khsusnya penyakit parasite (kecacingan atau gangguan reproduksi.

Katanya, populasi sapi tidak hanya tergantung dengan bibit dan makanan, tapi juga penyakit. Muhakka SPt MSi dari Unsri mengatakan, Sumsel daerah potensial untuk melakukan pengembangan ternak. Tidak hanya OKI dan Banyuasin, tapi juga daerah lainnya.

“Sumsel memiliki semua persyaratan dan modal untuk pengembangan ternak, mulai dari pakan hingga bibit,” katanya. Menurut Muhakka, diperukan campur tangan teknologi untuk mengembangkan ternak secara optimal agar didapatkan ternak unggul, khusunya teknologi nutrisi ternak.

“Kami sudah menciptakan pengelolahan pakan dan hijauan (daun) nutrisi dengan fermentasi dan amoniasi sehingga hijauan dapat tersedia sepanjang tahun. Selama ini sifatnya musiman,” bebernya. (cj6/yun/ce6)

Prof Suhubdy Yasin dari Universitas Mataram mengatakan, Sumsel tercatat satu dari 10 provinsi yang memiliki potensi pengembangan kerbau di Indonesia. “Di Sumsel, kerbau Pampangan termasuk kerbau unggulan,” katanya.

Potensi kerbau tak hanya di OKI dan Banyuasin, tapi juga beberapa daerah lain. Kerbau memiliki pola dan makan yang tidfak rumit. “Makannya rumput di sekitar kebun sawit, jerami atau sisa makanan ternak. Perawatannya sangat mudah,” cetusnya.

Ketidaktahuan masyarakat dan orientasi pemilik ternak yang hanya memotong dan tidak memikirkan pengembangan kerbau membuat populasinya terus berkurang.

Diperlukan keseriusan semua pihak, tidak hanya pemerintah untuk meningkatkan populasi kerbau ini. Apalagi, kerbau Pampangan memiliki nilai ekonomis lebih, seperti menghasilkan susu, keju, dan produk kecantikan. “Kualitas susu kerbau Pampangan sangat tinggi, tapi memang terbatas, 1-3 liter per ekor per hari,” imbuhnya.

Ada dua pendekatan untuk pengemabangan kerbau, seleksi ternak unggul untuk hasilkan bibit unggul. Kemudian, metode kawin silang dan inseminasi buatan. “Keduanya merupakan upaya untuk menghasilkan bibit unggul,” imbuh Suhubdy.

Ia mengatakan, perlunya perbaikan pola dan orientasi berternak kerbau di Semse. Pakan dan teknologi reproduksi ternak juga diperlukan untuk mendapatkan hasil optimal. Jika semu dilaksanakan, Suhubdy yakin pengembangan populasi kerbau di Sumsel akan berhasil. (yun/ce6)

Prof Dr Ir Baharuddin Tappa, peneliti utama di LIPI Pusat menjelaskan, bioteknologi merupakan ilmu khusus yang mempelajari bagaimana meningkatkan produktivitas suatu komunitas. “Misalnya, melalui perbaikan genetik dapat meningkatkan produktivitas ternak,” katanya, tadi malam.

Secara umum, peternakan bioteknologi meliputi tiga bidang, bioteknologi pakan, serta bioteknologi hasil ternak seperti susu, keju, dan daging. “Sementara ini dikhususkan untuk bioteknologi reproduksi dengan harapan meningkatkan produksi ternak di Sumsel,” bebernya. Caranya, transfer embrio (bayi tabung) pada ternak sapi kerbau, dan kambing.

Katanya, bioteknologi seksing merupakan pemisahan sperma pada ternak jantan. Kemudian dipilih, ingin lahir ternak jantan atau betina. Tinggal peternak, kalau ingin mengembangbiakkan, maka perlunya anakan betina. Tapi kalau ingin penggemukkan, diperlukan anakan jantan.

“Bioteknologi seksing sudah dilakukan di beberapa daerah, seperti di Jawa, untuk sapi perah. Lalu sapi lokal di NTB dan Sulsel. Sumsel mungkin akan dilakukan setelah ada pelatihan nanti,” bebernya. Tingkat keberhasilan bioteknologi seksing ini 90 persen.

Teknologi lain yang dikembangan LIPI yaitu kelahiran kembar (twin). Bisa membuat kelahiran kembar dengan kawin suntik dan transfer embrio. Sekali membuntingkan ternak, memasukkan dua bibit.

“Terakhir dan masih dalam tahap penelitian yakni system cloning. Kita mmperbanyak ternak dengan jumlah banyak dan seragam. Semua anak kembar. Dilihat secara fisik, bisa jenis kelamin sama. Tinngi sama, hidung sama, dan lainnya,” tutur Baharuddin. Ini mampu menunjang terwujudnya swasembada daging karena dapat mempercepat pertambahan populasi. “Khusus untuk kerbau, sudah ada kerja sama LIPI dengan jurusan Peternakan Unsri mengembangbiakkan kerbau Pampangan dengan metode seksing sperma sejak tahun kemarin,” pungkasnya. (cj6/ce6)

Sumsel sedang mengembangkan sapi perah di Lahat dan Pagaralam melalui tiga konsep. Pertama, melalui model kemitraan aspiratif. Kedua, pemberdayaan perempuan dan terakhir program susu sekolah.

“Pola kemitraan aspiratif sebagai dasar pengembangan peternakan kemitraan pola inti plasma di Sumsel karena konsep ini fokus pada kearifan lokal masyarakat dangan harapan tidak terjadi konflik sosial,” ujar Dr Rochadi Tawwab didampingi Rahmat Setiadi dari Lembaga Penelitian dan Pengembangan Masyarakat (LPPM) Universitas Padjadjaran Bandung.

Katanya, pengembangan sapi perah di Sumsel tertinggal jauh dari Sumbar dan Sumut. Diperlukan dukungan penuh dari pemerintah daerah, salah satunya infrastruktur. Hanya saja diakui, pengembangan sapi perah di Indonesiamasih tergolong kecil. Baru 25 persen dipenuhi produki dalam negeri dan 75 persennya masih impor. Dalam rangka menuju peningkat produksi susu nasional, pemerintah memfokuskan pengembangan ke luar Jawa, seperti Sumatera, Kalimanta, dan Sulawesi dengan daerah lainnya yang memiliki infrastruktur dan iklim yang menujang, dengan suhu dingin 20-27 derajat celcius.

Sumsel, provinsi di Sumatera, memiliki prasyarat dibutuhkan bagi pengembangan sapi perah. Baik iklim, pakan, pola konsumsi masyarakat (rendahnya konsumsi susu yang hanya mencapai sekitar 3,44 liter/kap/tahun), ketersediaan modal, dan teknologi (SDM). Dengan menerapkan model pengembangan sapi perah secara baik, optimis 5-10 tahun ke depan Sumsel menjadi salah provinsi penyumbang susu perah terbaik di Indonesi. (nni/ce6)

Kota Palembang sebagai kota metropolitan sudah seharusnya mempunyai rumah sakit (RS) hewan. Hal itu menjadi kebutuhan agar beragam penyakit yang berkembang tidak menginfeksi kepada manusia maupun hewan lainnya.

“keberadaan RS hewan saya nilai sudah sangat mendesak. Apalagi saat ini salah satu sarana penunjangnya seperti laboratorium kesehatan hewan dan kesehatan masyarakat veteriner sudah ada,” kata Kepala Departemen Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor (IPB) Prof Bambang Pontjo Priosoeryanto DVM MS PHd APVet.

Dengan berdirinya RS hewan di Palembang, tentu saja berpengaruh positif kepada upaya meningkatkan pelayanan bidang kesehatan hewan. Standar yang harus dimiliki RS tersebut seperti sarana prasarana, tenaga medis, dan layanan yang prima terhadap hewan.

Fasilitas yang harus ada yakni peralatan standar pemeriksaan hewan, operasi lengkap, X-ray, USG, analisis patologi klinik, sterilisasi dan dekontanminasi, standar rawat inap dan rawat jalan, ruang nekopsi, kendaraan ambulatory, dan penunjang lainnya.

“Kita menjaga agar penyakit hewan ini tidak menular pada manusia,” imbuh Bambang. RS hewan tidak hanya fokus pada pelayanan jasa medik veteriner tapi juga pelayanan client education. Berdirinya RS hewan di Palembang akan mendorong lahirnya fakultas peternakan pada beberapa universitas di Sumsel. Saat ini baru ada 10 fakultas petrnakan di Indonesia. “Saya berharap, Sumsel pun dapat membuka fakultas peternakan,” pungkasnya. (cin/rip/ce6)Guru besar IPB, Profesor Muladno, berencana membuat buku pemilik ternak sapi untuk setiap ternak yang tergabung dalam Dewan Perwakilan Pemilik Ternak. Hal itu untuk mendukung program SPR pertama Indonesia di Banyuasin.

“Bukunya seperti BPKB kendaraan bermotor, didapat setelah sensus ternak,” ujarnya. Dengan begitu, perpindahan ternak mudah dipantau. Buku dipegang pemilik sapi. Tahap awal, sensus dlakukan bagi 1.000 sapi yang tergabung dalam SPR di Banyuasin. “Peternak yang nantinya akan menyensus sendiri, pengisian form survei akan dibantu tim dari Unsri,” jelasnya.

Dari hasil sensus itu, barulah didapatkan data yang valid mengenai sapi di sana. “Data riil, terpercaya. Ini yang pertama kali diterapakan, penelitian sebelumnya tidak sampai sensus seperti ini,” ucap Muladno. Para peternak juga disensus asset-asetnya. “Kita sensus juga lahan, tanaman, dan yang lain,” ujarnya. Sapi hanya dijadikan lokomotif.

“Salah satu tujuan SPR ini meningkatkan jumlah sapi,” imbunya. Targetnya, setelah berjalan empat tahun, maka usaha itu akan berjalan mandiri. Konsep SPR yang dikembangkannya ini dapat ditiru Unsri. “Jika nantinya kami pergi, maka Sumsel bisa mengadopsi ilmu ini,” ungkapnya. (rip/ce6)

Sumatera Ekspres, Selasa, 14 Mei 2013

0 komentar:

Posting Komentar